Minggu, 22 November 2015
Ngintip Orang Shalat Akhirnya Jadi Muallaf
Ngintip Orang Shalat Akhirnya Jadi Muallaf
Seorang mualaf ibarat besi yang baru jadi. Saatnya Allah
menempa kita dan menjadikannya sebilah pedang. Kalau tidak ditempa, tidak akan
tajam. Bagi Steven Indra Wibowo, agama adalah sebuah pilihan hidup. Seperti
filosofi yang dianut oleh para leluhurnya, setiap pilihan inilah yang nantinya
menjadi pegangan dalam mengarungi bahtera kehidupan. Bagi saya, Islam adalah pegangan hidup, ujar pria
kelahiran Jakarta, 14 Juli 1981 ini kepada Republika.
Sebelum
memutuskan memeluk Islam, Indra adalah seorang penganut Katolik yang taat. Ayahnya adalah salah seorang
aktivis di GKI (Gereja Kristen Indonesia) dan Gereja Bethel. Di kalangan
para aktivis GKI dan Gereja Bethel, ayahnya bertugas sebagai pencari dana di
luar negeri bagi pembangunan gereja-gereja di Indonesia. Karena itu, tak
mengherankan jika sang ayah menginginkan Indra kelak mengikuti jejaknya dengan
menjadi seorang bruder (penyebar ajaran KatolikâRed).
Untuk
mewujudkan cita-cita tersebut, sejak usia dini ia sudah digembleng untuk
menjadi seorang bruder. Oleh sang ayah, Indra kecil kemudian dimasukkan ke
sekolah khusus para calon bruder Pangudi Luhur di Ambarawa, Jawa Tengah.
Hari-harinya ia habiskan di sekolah berasrama itu. Pendidikan kebruderan
tersebut ia jalani hingga jenjang SMP. Setamat dari Pangudi Luhur, saya
harus melanjutkan ke sebuah sekolah teologi SMA di bawah Yayasan Pangudi
Luhur, ujarnya.
Karena untuk
menjadi seorang bruder, minimal harus memiliki ijazah diploma tiga (D3),
selepas menamatkan pendidikan teologia di SMA tahun 1999, Indra didaftarkan ke
Saint Michaelâ College di Worcestershire, Inggris, yaitu sebuah sekolah
tinggi khusus Katolik. Di negeri Ratu Elizabeth itu, pria yang kini menjabat
sebagai sekretaris I Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) ini mengambil
jurusan Islamologi.
Selama
menempuh pendidikan di Saint Michaelâ College ini, Indra mempelajari mengenai
hadis dalam ajaran Islam Intinya, kita mempelajari hadis dan riwayatnya itu
untuk mencari celah agar orang Muslim percaya, bahwa apa yang diajarkan dalam
agama mereka tidak benar. Memang kita disiapkan untuk menjadi seorang penginjil
atau misionaris, paparnya. Bahkan, untuk mengemban tugas sebagai seorang
penginjil, ia harus melakoni prosesi disumpah tidak boleh menikah dan harus mengabdikan seluruh hidupnya
untuk Tuhan.
Namun,
seiring dengan aktivitasnya sebagai seorang penginjil, justru mulai timbul
keraguan dalam dirinya atas apa yang ia pelajari selama ini. Apa yang dipelajarinya,
bertolak belakang dengan buku-buku yang ia temui di toko-toko buku. Hingga
akhirnya, suatu hari tatkala mendatangi sebuah toko buku ternama di Jakarta, ia
menemukan sebuah buku karangan Imam Ghazali. Buku yang mengulas mengenai hadis
dan sejarah periwayatannya itu cukup menarik perhatiannya.
Dari semula
hanya sekadar iseng membaca gratis sambil berdiri di toko buku tersebut, Indra
akhirnya memutuskan untuk membelinya. Setelah saya baca dan pelajari buku
tersebut, ternyata banyak referensi dan penjelasan mengenai hadis yang diriwa
-yatkan oleh Bukhari dan Muslim. Akhirnya, saya juga memutuskan untuk membeli
buku kumpulan hadis-hadis Bukhari dan Muslim, kata dia.
Berawal dari
sinilah, Indra mulai mengetahui bahwa hadishadis yang selama ini dipelajarinya
di Saint Michaelâ College, ternyata tidak diakui oleh umat Islam sendiri. Hadis-hadis
yang saya pelajari tersebut ternyata maudhuâ (palsu). Dari sana, kemudian saya
mulai mencari-cari hadis yang sahih, tukasnya.”
Dari Katedral
ke Istiqlal
Keinginan Indra untuk mempelajari ajaran Islam, tak hanya sampai di situ. Di sela-sela tugasnya sebagai seorang penganut Katolik, diam-diam Indra mulai mempelajari gerakan shalat. Kegiatan belajar shalat itu ia lakukan selepas menjalankan ritual ibadah Minggu di gereja Katedral, Jakarta. Tak ada yang mengetahui kegiatan mengintipnya itu, kecuali seorang adik laki-lakinya. Namun, sang adik diam saja atas perilakunya itu.
Keinginan Indra untuk mempelajari ajaran Islam, tak hanya sampai di situ. Di sela-sela tugasnya sebagai seorang penganut Katolik, diam-diam Indra mulai mempelajari gerakan shalat. Kegiatan belajar shalat itu ia lakukan selepas menjalankan ritual ibadah Minggu di gereja Katedral, Jakarta. Tak ada yang mengetahui kegiatan mengintipnya itu, kecuali seorang adik laki-lakinya. Namun, sang adik diam saja atas perilakunya itu.
Ketika waktu
shalat zuhur datang dan azan berkumandang dari seberang (masjid Istiqlal ”Red),
kalung salib saya masukkan ke dalam baju, sepatu saya lepas dan titipkan.
Kemudian, saya pinjam sandal tukang sapu kebun di Katedral. Setelah habis
shalat, saya balik lagi mengenakan kalung salib dan kembali ke Katedral,’’
paparnya.
Aktivitasnya
yang konyol di mata sang adik itu, ia lakoni selama dua bulan. Dan, berkat
kerja sama sang adik pula, tindakan yang ia lakukan tersebut tidak sampai
ketahuan oleh ayahnya. Dari situ, lanjut Indra, ia baru sebatas mengetahui
orang Islam itu shalat empat rakaat dan selama shalat diam semua. Tahap
berikutnya, ayah satu orang putri ini mulai belajar shalat maghrib di sebuah
masjid di daerah Muara Karang, Jakarta Utara. Ketika itu, ia beserta
keluarganya tinggal di wilayah tersebut.
Dari situ,
saya mulai mengetahui ternyata ada juga shalat yang bacaannya keras. Kemudian,
saya mulai mempelajari shalat-shalat apa saja yang bacaannya dikeraskan dan
tidak. Setelah belajar shalat zuhur dan maghrib, ia melanjutkan dengan shalat
isya, subuh, dan ashar. Kesemua gerakan dan bacaan shalat lima waktu tersebut
ia pelajari secara otodidak, yakni dengan cara mengikuti apa yang dilakukan
oleh jamaah shalat. Sampai tata cara berwudhu pun, menurut penuturannya, ia
pelajari dan hafal dengan menirukan apa yang dilakukan oleh para jamaah shalat.
‘’Saya lihat
orang berwudhu, ingat-ingat gerakannya, baru setelah sepi saya
mempraktikkannya. Dan, Alhamdulillah dalam waktu seminggu saya sudah bisa hafal
gerakan berwu -dhu. Begitu juga, dengan gerakan shalat dan bacaannya. Saya
melihat gerakan imam dan mendengar bacaannya sambil berusaha mengingat dan
menghafalnya, terang Direktur Operasional Mustika (Muslim Tionghoa dan
Keluarga), sebuah lembaga yang mewadahi silahturahim, informasi, konsultasi,
dan pembinaan agama Islam.
Untuk
memperdalam pengetahuannya mengenai tata cara ibadah shalat, Indra pun mencoba
mencari tahu arti dan makna dari setiap gerakan serta bacaan dalam shalat,
melalui buku-buku panduan shalat yang harganya relatif murah. Melalui shalat
ini, ungkap Indra, ia menemukan suatu ibadah yang lebih bermakna, lebih dari
hanya sekadar duduk, kemudian mendengarkan orang ceramah dan kadang sambil
tertidur, akhirnya tidak dapat apa-apa dan hampa.
Ibaratnya
sebuah bola bowling, tampak di permukaan luar -nya keras dan kokoh, tetapi di
dalamnya kosong. Berbeda de ngan ibadah shalat yang ibaratnya sebuah kelereng
kecil, wa lau pun kecil, di dalamnya padat. Saya lebih memilih menjadi se buah
kelereng kecil daripada bola bowling tersebut, ujar nya mengumpamakan
ibadah yang pernah ia lakoni sebelum menjadi Muslim dan sesudahnya.
Tujuh
jahitan
Setelah merasa mantap, Indra pun memutuskan untuk masuk islam dengan dibantu oleh seorang temannya di Serang, Banten. Peristiwa itu terjadi sebelum datangnya bulan Ramadhan di tahun 2000. Keislamannya ini, kata dia, baru diketahui oleh kedua orang tuanya setelah ia memutuskan untuk kembali ke Jakarta. Kabar mengenai keislamannya ini diketahui orang tuanya dari para rekan bisnis sang ayah.
Setelah merasa mantap, Indra pun memutuskan untuk masuk islam dengan dibantu oleh seorang temannya di Serang, Banten. Peristiwa itu terjadi sebelum datangnya bulan Ramadhan di tahun 2000. Keislamannya ini, kata dia, baru diketahui oleh kedua orang tuanya setelah ia memutuskan untuk kembali ke Jakarta. Kabar mengenai keislamannya ini diketahui orang tuanya dari para rekan bisnis sang ayah.
Karena
mungkin pada waktu itu, papa saya sedang mengerjakan proyek pembangunan resort
di wilayah Muara Karang dan Pluit, makanya papa punya banyak kenalan dan teman.
Dan, mungkin orang-orang itu sering melihat saya datang ke masjid dan
mengenakan peci, makanya dilaporkan ke papa, kenangnya. Ayahnya pun memutuskan
untuk mengirim orang untuk memata-matai setiap aktivitas Indra sehari-hari.
Setelah ada bukti nyata, ia kemudian dipanggil dan disidang oleh ayahnya. Saya
beri penjelasan kepada beliau bahwa Islam itu bagi saya adalah pegangan hidup.
Di hadapan
ayahnya, Indra mengatakan bahwa selama menjalani pendidikan calon bruder,
dirinya mendapatkan kenyataan bahwa pastur yang selama ini ia hormati ternyata
melakukan perbuatan asusila terhadap para suster. Demikian juga, dengan para
frater yang menghamili siswinya dan para bruder yang menjadi homo. Ibaratnya
saya pegangan ke sebuah pohon yang rantingranting daunnya pada patah, dan saya
rasa pohon itu sudah mau tumbang kalau diterpa angin. Sampai akhirnya, saya
ketemu dengan sebatang bambu kecil, yang tidak akan patah meski diterpa angin.
Seakan tidak
terima dengan penjelasan sang anak, ayahnya pun menampar Indra hingga kepalanya
terbentur ke kaca. Beruntung saat kejadian tersebut sang ibu langsung membawa
Indra ke Rumah Sakit Atmajaya. Sebagai akibatnya, ia mendapatkan tujuh jahitan
di bagian dahinya. Kendati begitu, ibunya tetap tidak bisa menerima keputusan
putra pertamanya tersebut.
Tidak hanya
mendapatkan tujuh jahitan, oleh ayahnya kemudian Indra diusir setelah dipaksa
harus menandatangani surat pernyataan di hadapan notaris, mengenai pelepasan
haknya seba gai salah satu pewaris dalam keluarga. Saya tidak boleh menerima
semua fasilitas keluarga yang menjadi hak saya,ujarnya. Meski hidup dengan
penuh cobaan, ungkap Indra, masih ada Allah SWT yang menyayanginya dan
membukakan pintu rezeki untuknya. Salah satunya, proposal pengajuan beasiswa
yang ia sampaikan ke Universitas Bina Nusantara (Binus) disetujui. Di Binus
juga, ia mempunyai waktu luang dan kesempatan untuk menyampaikan syiar Islam,
baik melalui forumforum pengajian maupun internet.
Karena itu,
saya melihat mualaf itu ibaratnya sebuah besi yang baru jadi. Jadi, saatnya
Allah menempa kita dan menjadikannya sebilah pedang. Jadi, kalau tidak ditempa,
tidak akan tajam, katanya. nidia zuraya
oleh indra wibowo
http://kisah.net/ngintip-orang-shalat-akhirnya-jadi-muallaf/
Author: Mohammad
Mohammad is the founder of STC Network which offers Web Services and Online Business Solutions to clients around the globe. Read More →
Related Posts:
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar: