Jumat, 04 Desember 2015
Tokoh Penyebar Islam di Indonesia
Faktor yang
paling penting dalam melaksanakan Islamisasi di Indonesia adalah melalui
perdagangan, seperti dikemukakan oleh Wolters bahwa Indonesia merupakan tempat
yang sangat strategis sebagai tempat persinggahan dari bangsa-bangsa sebelah
barat seperti Persia, Arab, dan India yang hendak menuju ke timur, yaitu ke
Indonesia, Cina, dan Jepang.
Selain golongan
pedagang, peranan para wali juga sangat penting dalam proses penyebaran
tersebut. Snouck bahkan berpendapat bahwa peranan para ustad dan sultan sangat
besar untuk memperkenalkan Islam di Indonesia. Mereka berasal dari Arab dan
mengaku sebagai keturunan Nabi Muhammad saw. dengan memakai gelar Sayyid Syarif
yang menjalankan dakwah dengan motif keagamaan.
Di Pulau Jawa,
proses Islamisasi memiliki satu kekhasan. Islamisasi di Jawa dilakukan oleh
sekelompok mubalig Islam yang dikenal dengan sebutan walisongo. Wali arti
harfiahnya adalah orang yang dekat dengan Allah, sedangkan songo menunjukkan
jumlah yaitu sembilan. Jadi walisongo artinya sembilan orang wali.
Walisongo
|
Ada pula yang
mengartikan songo itu bukan angka sembilan dalam pengertian jumlah, tetapi
menunjukkan bahwa sembilan itu (songo) menunjukkan angka yang sakral atau suci.
Jadi walisongo bisa diartikan pula dengan orang-orang (wali) yang disucikan,
karena jumlah wali itu lebih dari sembilan.
Walisongo sangat dihormati serta dimuliakan oleh orang-orang, terutama di pulau Jawa, bahkan para walisongo itu diberi gelar Sunan atau Susuhunan artinya yang dijunjung tinggi atau gelar yang tinggi dan mulia.
Cara yang
dilakukan oleh walisongo dalam menyebarkan agama Islam sangat menarik. Mereka
menggunakan metode-metode yang memudahkan ajaran Islam diterima oleh masyarakat
luas dari berbagai golongan. Mereka menggunakan pendekatan kebudayaan untuk
memperkenalkan Islam kepada masyarakat. Para wali itu, antara lain sebagai berikut.
a. Maulana
Malik Ibrahim
Maulana Malik
Ibrahim atau Makdum Ibrahim, sering pula disebut Maulana Maghribi, dan ada juga
orang menyebutnya dengan sebutan Kakek Bantal. Maulana Malik Ibrahim adalah
orang pertama menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa. Ia bersaudara dengan
Maulana Ishak, ulama terkenal di Samudera Pasai, sekaligus ayah dari Sunan Giri
(Raden Paku).
Dari beberapa sumber, ada yang menyebutkan ia berasal dari Persia, ada juga yang menyebutkan dari Turki, Arab, dan riwayat lain menyebutkan ia berasal dari Gujarat. Tetapi pendapat yang lebih kuat ia berasal dari tanah Arab, tepatnya Maroko.
Maulana Malik
Ibrahim pernah bermukim di Campa (Kamboja). Ia menikahi putri Campa dan
dikaruniai dua orang putra, yaitu Raden Rahmat (Sunan Ampel) dan Sayid Ali
Murtadha alias Raden Santri. Merasa cukup menjalankan misi dakwahnya di negeri
itu, pada tahun 1329 M, ia hijrah ke Pulau Jawa. Daerah pertama yang dituju
adalah Desa Sembalo (sekarang daerah Leran Kecamatan Manyar, 9 kilometer dari
utara kota Gresik), daerah yang masih berada di bawah kekuasaan Kerajaan
Majapahit.
Meskipun ia
bukan orang Jawa, namanya terkenal di kalangan masyarakat Jawa, sebab ia yang
menjadi pelopor penyebaran Islam di Jawa dengan pusat kegiatannya di Gresik,
dekat Surabaya. Dalam proses dakwahnya kepada masyarakat, ia melakukannya
dengan penuh hati-hati, bijaksana, dan mengadakan pendekatan personal pada
masyarakat Jawa.
Kepercayaan
sebelumnya yang dipegang oleh masyarakat tidak ditentang begitu saja. Ia
memperkenalkan budi pekerti yang diajarkan Islam dengan tutur kata yang sopan,
lemah lembut sehingga banyak penduduk Jawa yang tertarik memeluk agama Islam.
Maulana Malik Ibrahim wafat pada tanggal 12 Rabiul Awal 822 Hijriah atau 9
April 1419 M dan dimakamkan di Gresik.
b. Sunan Ampel
Sunan Ampel
nama aslinya Raden Rahmat, seorang kemenakan dari Raja Majapahit Kertawijaya.
Menurut cerita rakyat, ia berasal dari Campa. Mengenai Campa ini ada dua
pendapat, pertama Champa di Indochina, kedua Jeumpa di Aceh. Disebutkan ia
adalah anak dari Raja Cempa Ibrahim Asmarakandi (Maulana Malik Ibrahim) yang
diutus ke Majapahit dan oleh Raja Majapahit diperkenankan tinggal dan menetap
di Ampeldenta (Surabaya).
Beberapa versi
menyatakan bahwa Sunan Ampel masuk ke Pulau Jawa pada tahun 1443 M bersama
adiknya, Sayid Ali Murtadha. Tetapi sebelum sampai ke Jawa, ia singgah dahulu
di Palembang, kemudian berlabuh di daerah Gresik, dilanjutkan ke Majapahit
untuk menemui bibinya yang bernama Dwarawati, seorang putri Campa yang
dipersunting Raja Majapahit yang bergelar Prabu Sri Kertawijaya.
Pada tahun
1450, Raden Rahmat menikah dengan Nyi Ageng Manila, putri Bupati Tuban yang
sudah memeluk agama Islam. Selanjutnya Raden Rahmat menetap di daerah
Ampeldenta pemberian dari Raja Majapahit. Di sana Raden Rahmat mendirikan
masjid dan membuka pondok pesantren, sehingga ia dikenal dengan Sunan Ampel.
Sesuai dengan tugasnya, ia adalah guru yang mengajarkan budi pekerti kepada
para adipati, pembesar keraton, dan bagi masyarakat yang ingin belajar tentang
keislaman. Pada pertengahan abad ke-15, pesantren tersebut menjadi pusat
pendidikan yang sangat berpengaruh di wilayah Nusantara.
Ajaran Sunan
Ampel yang terkenal adalah falsafah Mo Limo, Mo artinya ora gelem (tidak mau)
dan Limo artinya perkara lima. Jadi maksud Mo Limo ialah tidak mau melakukan
perkara lima yang terlarang, yaitu :
1) Emoh main
(tidak mau judi)
2) Emoh ngumbih
(tidak mau minum-minuman yang memabukkan)
3) Emoh madat
(tidak mau minum atau menghisap candu atau ganja)
4) Emoh maling
(tidak mau mencuri)
5) Emoh madon
(tidak mau berzina)
Keberhasilan
Sunan Ampel lainnya ialah melahirkan tokoh wali lainnya seperti Sunan Giri,
Sunan Kalijaga, dan putranya sendiri yang bernama Sunan Derajat dan Sunan
Bonang. Keberhasilan yang lain, Sunan Ampel menjadi perencana Kerajaan Demak.
Dialah yang melantik Raden Patah sebagai Sultan Demak yang pertama tahun 1403
Saka (1481 M). Pada tahun 900 Hijriyah (1494 M), Sunan Ampel wafat. Jena ahnya
dimakamkan di Ampeldenta, Surabaya.
c. Sunan Bonang
Sunan Bonang
atau Makhdum Ibrahim lahir pada tahun 1450 M. Ia adalah putra Sunan Ampel dari
istrinya yang bernama Nyi Ageng Manila, putri seorang adipati di Tuban. Sunan
Bonang belajar agama dari pesantren ayahnya di Ampeldenta. Setelah cukup
dewasa, ia berkelana dan kemudian menetap di Bonang (sebuah desa kecil di
Lasem, Jawa Timur). Di tempat itulah Sunan Bonang mempunyai tempat kegiatan
dakwahnya yaitu di daerah Bonang, dekat Tuban. Di sana ia mendirikan pesantren
yang sekarang dikenal dengan sebutan Watu Layar. Dari pondok pesantren itu, ia
mengajar dan mengembangkan agama Islam.
Dari
pesantrennya di Bonang (Tuban), agama Islam disebarkan ke daerah pantai, mulai
Rembang sampai Surabaya. Dari hasil survei di lapangan, ternyata rakyat Tuban
mayoritas menyukai lagu-lagu gending gamelan. Untuk itu dalam melaksanakan
dakwah kepada masyarakat, ia menggunakan kesenian rakyat yang disebut bonang.
Ia menabuh bonang diiringi dengan lagu-lagu berupa pantun yang bernapaskan
keagamaan. Sunan Bonang berhasil menggubah lagu gending sekaten dan tembang
mocopat yang sampai sekarang tembang itu populer di kalangan masyarakat Jawa.
Tidak seperti
Sunan Giri yang lugas dalam fiqih, ajaran Sunan Bonang berusaha memadukan
ajaran ahlusunnah bergaya tasawuf dan garis salaf ortodoks. Ia menguasai ilmu
fiqih, usuluddin, tasawuf, seni, sastra, dan arsitektur. Ajarannya berintikan
pada filsafat isyq (cinta). Menurut Bonang, cinta sama dengan iman,
pengetahuan, dan kepatuhan kepada Allah SWT atau haq al yaqqin. Ajaran tersebut
disampaikan secara populer melalui media kesenian. Pada tahun 1525 M, Sunan
Bonang wafat dan dimakamkan di daerah Tuban.
d. Sunan
Derajat
Sunan Derajat
nama sebenarnya adalah Masih Munat, putra dari Sunan Ampel, saudara dari Sunan
Bonang. Dalam melakukan kegiatan dakwahnya, ia mengambil cara ayahnya, terutama
dalam mengajarkan tauhid dan akidah, yaitu secara langsung dan tidak banyak
mendekati budaya lokal. Walaupun demikian, cara penyampaiannya menggunakan alat
kesenian dengan menabuh seperangkat gamelan, sebagaimana dilakukan oleh Sunan
Muria. Sunan Derajat mengubah sejumlah suluk, di antaranya suluk petuah. Ia
juga menciptakan lagu gending pangkur yang sampai sekarang lagu itu masih
banyak digemari oleh masyarakat Jawa. Pusat kegiatan dakwahnya di daerah
Sedayu, Jawa Timur.
Sunan Derajat
dikenal dengan kegiatan sosialnya. Ia dikenal sebagai seorang yang bersahaja
yang suka menolong sesama. Dialah wali yang memelopori penyantunan anak-anak
yatim, fakir miskin, dan orang sakit. Sunan Derajat wafat pada pertengahan abad
ke-15 dan dimakamkan di Sedayu, Gresik (Jawa Timur).
e. Sunan Giri
Sunan Giri atau
Raden Paku. Ia adalah putra dari Maulana Ishak dari Blambangan, yang juga
sahabat Sunan Ampel. Raden Paku bersahabat dengan Makhdum Ibrahim, dan keduanya
oleh Sunan Ampel disuruh pergi haji ke Mekkah sambil menuntut ilmu. Keduanya
juga pernah menimba ilmu di Pasai (Aceh).
Dengan bantuan
masyarakat Gresik, Sunan Giri mendirikan pesantren di daerah Giri. Atas
ketekunan dan kesungguhannya, pesantren itu bukan hanya sebagai tempat pendidikan
dalam artian sempit, tetapi juga sebagai pusat pengembangan masyarakat. Dalam
waktu tiga tahun, pesantren Giri sudah terkenal ke seluruh Nusantara, sehingga
banyak murid-muridnya yang datang dari Madura, Kalimantan, Makassar, Lombok,
dan seluruh Jawa. Raja Majapahit sendiri memberi keleluasaan kepadanya untuk
mengatur pemerintahan karena khawatir ia melakukan pemberontakan. Kemudian
pesantren itu pun berkembang menjadi salah satu pusat kekuasaan yang disebut
Giri Kedaton.
Ketika Raden
Fatah lepas dari pengaruh kekuasaan Majapahit, Sunan Giri diangkat menjadi
penasihat dan panglima militer Kesultanan Demak. Banyak mubalig dari pesantren
Giri yang dikirim ke Nusa Tenggara, Sulawesi, dan Maluku. Sunan Giri dikenal
karena pengetahuannya yang luas dalam ilmu fiqih.
Orang pun
menyebutnya Sultan Abdul Fakih. Ia juga pencipta karya seni yang luar biasa.
Gending Pucung yang bernuansa Jawa namun syarat dengan ajaran Islam adalah
salah satu karya Sunan Giri. Sunan Giri wafat pada tahun 1600 M dan dimakamkan
di atas Bukit Giri, dekat Gresik.
f. Sunan
Kalijaga
Sunan Kalijaga
atau Raden Jaka Said. Ia adalah putra seorang Adipati Tuban yang bernama
Tumenggung Wilatikta. Sejak kecil, dalam diri Raden Jaka Said sudah tampak jiwa
luhur yang ditandai dengan selalu taat kepada agama dan berbakti kepada orang
tua, serta mempunyai sikap welas asih kepada semua orang. Ia menjadi murid
Sunan Bonang, kemudian menikah dengan putri Maulana Ishak. Berbeda dengan para
wali lain, Sunan Kalijaga menjadi mubalig keliling dan tidak mempunyai pusat
dakwah yang tetap.
Dalam
melaksanakan dakwahnya, Sunan Kalijaga menggunakan kesenian wayang kulit yang
sangat digemari masyarakat sejak aman Hindu. Kisah Mahabharata yang melandasi
cerita wayang disesuaikan agar tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
Penggunaan wayang sebagai alat dakwah ini ternyata memberi kemudahan dalam
meluaskan penyebaran Islam ke masyarakat.
Sunan Kalijaga
sebagai Mubalig yang ahli seni, ahli filsafat, dan kebudayaan memiliki beberapa
karya seni hasil ciptaannya antara lain orang pertama yang merancang baju
takwa, menciptakan lagu Dandang Gula dan Semarangan, menciptakan seni ukir
bermotif dedaunan, menciptakan bedug di masjid, memprakarsai Gerebeg Maulud,
menciptakan Gong Sekaten, dan membuat kreasi baru wayang menjadi karikatur,
digambar dan diukir pada kulit binatang. Pada pertengahan abad ke-15, Sunan
Kalijaga wafat dan di makamkan di daerah Kadilangu, dekat Demak.
g. Sunan Kudus
Sunan Kudus
atau Jafar Sadiq. Ia adalah salah seorang panglima tentara Demak. Kemudian ia
mengembara ke Tanah Suci, Mekkah untuk memperdalam agama Islam. Sekembali dari
Mekkah, ia mendirikan pusat keagamaan yang diberi nama Kudus, diambil dari nama
al-quds (Palestina), sehingga ia lebih dikenal dengan sebutan Sunan Kudus.
Sunan Kudus merupakan
banyak berguru pada Sunan Kalijaga. Kemudian ia berkelana ke berbagai daerah
tandus di Jawa Tengah seperti Sragen, Simo hingga Gunung Kidul. Cara dakwahnya
pun meniru Sunan Kalijaga yaitu toleran pada budaya setempat. Cara Sunan Kudus
mendekati masyarakat Kudus adalah dengan memanfaatkan simbol-simbol
Hindu-Buddha.
Hal itu terlihat dari arsitektur masjid Kudus. Sunan Kudus seorang yang ahli dalam bidang tauhid, hadis, fiqih dan lainnya. Ia juga terkenal sebagai pujangga yang mengarang cerita pendek yang berfalsafah dan bernapaskan keagamaan.
Semasa
hidupnya, ia mengajarkan agama Islam di sekitar pesisir utara Jawa Tengah di
daerah Kudus. Selain sebagai seorang wali, Sunan Kudus juga menjabat sebagai
Senopati Demak. Peninggalan yang termasyhur adalah Masjid Kudus. Menaranya
berbentuk candi, dan sering disebut Masjid Menara.
Pada mihrab masjid ini tercantum tahun peresmian masjid, yaitu 956 Hijriah (1549 M). Dalam bidang kesenian ia dikenal sebagai pencipta Gending Asmarandana. Pada tahun 1550, Sunan Kudus wafat dan dimakamkan di daerah Kudus, Jawa Tengah.
h. Sunan Muria
Sunan Muria
atau Raden Prawoto atau Raden Umar Said, adalah putra Sunan Kalijaga dari
istrinya yang bernama Dewi Sorah. Dewi Sorah adalah adik kandung Sunan Giri.
Gaya berdakwah Sunan Muria seperti ayahnya, Sunan Kalijaga. Tetapi ia lebih
menyukai tinggal di daerah terpencil, jauh dari kota. Pusat kegiatannya di
lereng Gunung Muria (Jawa Tengah). Ia banyak bergaul dengan rakyat jelata.
Sambil bercocok tanam, berladang, dan berdagang, ia mengajarkan agama Islam.
Selain itu, Sunan Muria berdakwah dengan menggunakan media kesenian rakyat
yaitu berupa gamelan. Ia menciptakan gending sinom dan kinanti.
Sunan Muria
sering berperan juga di Kesultanan Demak sebagai penengah dalam konflik istana.
Ia dikenal sebagai pribadi yang mampu memecahkan berbagai masalah betapa pun
rumitnya. Solusi pemecahannya pun selalu dapat diterima oleh semua pihak yang
berseteru. Beliau wafat pada tahun 1560 M dan dimakamkan di atas Gunung Muria.
i. Sunan Gunung
Jati
Sunan Gunung
Jati atau Syarif Hidayatullah lebih dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati
karena pusat kegiatan dakwahnya berada di daerah Gunung Jati, Cirebon, Jawa
Barat. Pada tahun 1570 M, Sunan Gunung Jati wafat dan dimakamkan di Gunung
Jati, Cirebon.
Setelah
Walisongo, proses penyebaran agama Islam diteruskan oleh para ulama yang
peranannya sama dengan para wali. Para ulama itu tersebar di berbagai pelosok
tanah air, antara lain sebagai berikut.
1) Tokoh ulama
dari Jawa
a) Syekh
Bentong dengan daerah dakwah di Gunung Lawu
b) Sunan Bayat
yang banyak menyebarkan Islam di daerah Klaten dan sekitarnya
c) Syekh
Majagung, Sunan Prapen, dan Sunan Sendang yang berperan dalam pendidikan pondok
pesantren di daerah Jawa
2) Tokoh ulama
dari luar Jawa
a) Datuk Ri
Bandang yang menyebarkan agama Islam di daerah Makassar
b) Datuk
Sulaeman yang menyebarkan agama Islam di daerah Sulawesi
c) Tuan
Tunggang Parangang dan Penghulu Demak yang menyebarkan Islam di Kalimantan.
Author: Mohammad
Mohammad is the founder of STC Network which offers Web Services and Online Business Solutions to clients around the globe. Read More →
Related Posts:
SEJARAH
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar: