Minggu, 06 Desember 2015
Adil yang Patut dan Standar
Allah SWT
menurunkan ajaran Islam bertujuan untuk membentuk masyarakat yang menyelamatkan
dan membawa rahmat pada seluruh alam (rahmatan lil alamin) (Qs. Al-
Anbiya’/21: 107). Untuk itu, Islam meletakkan ajaran adil sebagai salah satu di
antara nilai-nilai kemanusiaan yang asasi dan dijadikan sebagai pilar kehidupan
pribadi, rumah tangga dan masyarakat. Ajaran ini sangat dijunjung tinggi oleh
Islam. Allah swt mengutus para Rasul dalam rangka untuk menegakkan dan
mewujudkan keadilan di muka bumi. Allah berfirman :
لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا
بِالْبَيِّنَاتِ وَأَنْزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ وَالْمِيزَانَ لِيَقُومَ
النَّاسُ بِالْقِسْطِ )الحديد : 25
“Sesungguhnya
Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan
telah Kami turunkan bersama mereka al-Kitab dan mizan (neraca, keadilan) supaya
manusia dapat melaksanakan keadilan.” (Qs. al-Hadid/57: 25)
Tidak
terhitung ayat-ayat al-Qur’an maupun teks-teks hadist yang memerintahkan
manusia untuk berlaku adil, di antaranya Allah swt berfirman:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ
وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ
وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ )النحل : 90
Sesungguhnya
Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum
kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan.
Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. (Qs. an-Nahl: 90)
Menurut M.
Quraish Syihab, dalam al-Qur’an, kata “adil” dalam berbagai bentuknya terulang
28 kali. Tema dan konteksnya beragam. Salah satunya menyebutkan bahwa Allah SWT
sangat mencintai kepada orang-orang yang berlaku adil, terutama kepada para
pemimpin yang adil. Ini kentara dari firman Allah berikut:
وَأَقْسِطُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ
الْمُقْسِطِينَ [الحجرات : 9
”Dan
berbuat adillah, sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat adil.”
(Qs. al-Hujurat/49: 9).
Rasulullah
SAW bersabda:
أَهْلُ الْجَنَّةِ ثَلاَثَةٌ ذُو
سُلْطَانٍ مُقْسِطٌ مُتَصَدِّقٌ مُوَفَّقٌ وَرَجُلٌ رَحِيمٌ رَقِيقُ الْقَلْبِ
لِكُلِّ ذِى قُرْبَى وَمُسْلِمٍ وَعَفِيفٌ مُتَعَفِّفٌ ذُو عِيَالٍ ) مسلم
”(Diantara)
penghuni surga ialah tiga orang; seorang penguasa yang adil, serta ahli sedekah
dan mendapat bimbingan dari Allah; orang yang memiliki sifat penyayang dan
lembut hati kepada keluarga dekatnya dan setiap kepada muslim serta orang yang
tidak mau meminta-minta sementara ia menanggung beban keluarga yang banyak
jumlahnya.” (HR
Muslim).
Nash-nash di
atas menunjukan bahwa penegakan keadilan merupakan gagasan penting dalam ajaran
Islam. Sebaliknya, al-Qur’an mengecam orang-orang yang berlaku zalim. Menurut
Thabathaba’iy, hampir dua pertiga surah dalam al-Qur’an membicarakan
masalah-masalah kezhaliman. Dalam hadits pun tak terhitung kecaman yang
dialamatkan kepada orang yang berbuat zalim.
Rasulullah
SAW bersabda:
اتَّقُوا الظُّلْمَ فَإِنَّ الظُّلْمَ
ظُلُمَاتٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ) صحيح مسلم
“Takutlah
berbuat dlalim karena sungguh ia mendatangkan kegelapan-kegelapan di hari
Kiamat.” (HR. Muslim)
Pengertian Adil dan Hakikatnya
Kata adil
berasal dari bahasa Arab yang secara harfiyah berarti sama. Menurut kamus
bahasa Indonesia, adil berarti sama berat, tidak berat sebelah, tidak memihak,
berpihak kepada yang benar, berpegang kepada kebenaran dan sepatutnya. Dengan
demikian, seseorang disebut berlaku adil apabila ia tidak berat sebelah dalam
menilai sesuatu, tidak berpihak kepada salah satu kecuali keberpihakannya
kepada siapa saja yang benar sehingga ia tidak akan berlaku sewenang-wenang.
Pembahasan
tentang adil merupakan salah satu tema yang mendapat perhatian yang serius dari
para ulama’ dan intelektual Muslim. Dalam buku “Wawasan Al-Qur’an”,
Prof. Dr. M. Quraish Shihab membahas perintah penegakan keadilan dalam
al-Qur’an dengan mengutip tiga kata yakni al-adl, al-qisth, al-mizan.
Kata al-adl
menunjuk kepada arti “sama” yang memberi kesan adanya dua pihak atau lebih,
sedangkan kata al-qist menunjuk kepada arti “bagian” (yang wajar dan
patut), dan al-mizan menunjuk kepada arti alat untuk menimbang yang
berarti pula “keadilan”. Ketiganya sekalipun berbeda bentuknya namun memiliki
semangat yang sama yakni perintah kepada manusia untuk berlaku adil.
Prof. Dr.
Yusuf Qardlawi dalam bukunya “Sistem Masyarakat Islam dalam Al-Qur’an &
Sunnah” memberikan pengertian adil adalah “memberikan kepada segala yang
berhak akan haknya, baik secara pribadi atau secara berjamaah, atau secara
nilai apa pun, tanpa melebihi atau mengurangi, sehingga tidak sampai mengurangi
haknya dan tidak pula menyelewengkan hak orang lain”
Dari
berbagai pengertian di atas dapat disimpulkan ada setidaknya tiga hakikat
keadilan yang harus kita tegakkan, yaitu:
1. Adil dalam Arti Sama (al-Musawat)
Yaitu
perlakuan yang sama atau tidak membedakan antara yang satu dengan yang
lain; menyangkut persamaan hak perlindungan atas kekerasan,
kesempatan dalam pendidikan peluang mendapatkan kekuasaan, memperoleh
pendapatan dan kemakmuran. Juga persamaan dalam hak, kedudukan dalam proses di
muka hukum tanpa memandang ras, kelompok, kedudukan/jabatan, kerabat, kaya atau
miskin, orang yang disukai atau dibenci hatta terhadap musuh sekalipun.
وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ
أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ [النساء : 58
Apabila kamu
memutuskan perkara di antara manusia, maka hendaklah engkau
memutuskannya dengan adil…(Qs. an-Nisa’/4: 58)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَى أَنْفُسِكُمْ
أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ [النساء : 135
“Hai
orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar menegakkan
keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu
bapak dan kaum kerabatmu .” (Qs. an-Nisa’: 135)
Allah SWT
memerintahkan kepada kita agar berlaku adil, sekalipun terhadap komunitas non
muslim ataupun kaum yang kita musuhi, sebagaimana dalam firman-Nya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ
قَوْمٍ عَلَى أَلَّا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا
اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ [المائدة : 8
“Hai
orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu
menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah
sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak
adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa, bertaqwalah
kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
(Qs. Al Maidah: 8).
2. Adil dalam Arti Keseimbangan (at-Tawazun)
Seimbang di
sini tidak selalu sama antara dua pihak tersebut secara kuantitatif, tapi lebih
kepada proporsional dan profesional Di sini, keadilan identik dengan pengertian
kesesuaian, bukan lawan kata “kezaliman”, yakni kesesuaian
antara ukuran, kadar dan waktu. Ia ditetapkan apabila memang kondisi
menghendaki demikian. Allah SWT telah menciptakan alam semesta dengan segala
isinya, termasuk pada diri kita dengan keseimbangan yang sangat tepat.
يَا أَيُّهَا الْإِنْسَانُ مَا
غَرَّكَ بِرَبِّكَ الْكَرِيمِ (6) الَّذِي خَلَقَكَ فَسَوَّاكَ فَعَدَلَكَ
[الانفطار : 6 ، 7
“Wahai
manusia, apakah yang memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu Yang
Maha Pemurah? Yang menciptakan kamu lalu menyempurnakan kejadianmu, dan
menyeimbangankan (kejadian)–mu.” (Qs. al-Infithar/82: 6-7).
Adil dalam
pengertian ini merupakan hakikat yang penting dalam keadilan. Namun
keseimbangan bukan berarti kesamaan dalam memperoleh sesuatu, misalnya kesamaan
dalam penghasilan. Tetapi jangan pula terjadi jurang pemisah yang sangat tajam
dan tidak ada unsur pemerataan di antara sesama anak bangsa. Kesempatan
diberikan kepada semua orang dalam jumlah yang sama, namun apa yang diperolehnya
sangat tergantung pada usaha yang dilakukan. Ketika pembangunan hanya berpusat
di tempat tertentu itu namanya tidak adil, karena tidak ada keseimbangan dan
ini akan menimbulkan kecemburuan sosial yang berbahaya bagi suatu masyarakat.
Termasuk
pula dalam tataran ini, keseimbangan antara pembangunan material dan spiritual,
keseimbangan antara zikir dan fikir, pertengahan dalam menyikapi harta, tidak
kikir dan tidak boros. Orang yang bisa menyeimbangkan antara zikir dan fikir
disebut orang-orang yang berakal sebagaimana disebutkan oleh Allah di dalam
Al-Qur’an sebagai berikut:
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ
وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ
(190) الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ
وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ (119) [آل عمران : 190 ،
191
“Sesungguhnya
dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang
terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang
mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan
mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi” (Qs. Ali Imran: 190-191)
Dalam ayat
yang lain, Allah memerintahkan agar seseorang menyeimbangkan antara kepentingan
ruhiyyah (spiritual) dengan kepentingan jasmaniyah, sebagaimana
dinyatakan oleh Allah di dalam al-Qur’an sebagai berikut:
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ
فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ
كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ [الجمعة : 10
“Apabila
telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah
karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (Qs. Al-Jumuah: 10)
Dalam
konteks ini pula Rasululullah SAW bersabda:
إِنَّ لِنَفْسِكَ عَلَيْكَ حَقًّا
وَلِرَبِّكَ عَلَيْكَ حَقًّا وَلِضَيْفِكَ عَلَيْكَ حَقًّا وَإِنَّ لأَهْلِكَ
عَلَيْكَ حَقًّا فَأَعْطِ كُلَّ ذِى حَقٍّ حَقَّهُ
“Sesungguhnya
bagi dirimu ada hak, bagi Tuhanmu ada hak, bagi tamumu ada hak dan bagi
keluargamupun ada hak. Maka berikanlah masing-masing akan haknya.” (HR Turmudzi)
Jika kita
baca dengan seksama, petunjuk-petunjuk Al-Quran yang membedakan satu dengan
yang lain, seperti pembedaan lelaki dan perempuan pada beberapa hak waris dan
persaksian -apabila ditinjau dari sudut pandang keadilan- harus dipahami dalam
arti keseimbangan. Keadilan dalam pengertian ini menimbulkan keyakinan bahwa
Allah Yang Maha bijaksana dan Maha Mengetahui menciptakan dan mengelola segala
sesuatu dengan ukuran, kadar, dan waktu tertentu guna mencapai tujuan. Keyakinan
demikian ini mengantarkan kepada pengertian Keadilan Ilahi.
3. Adil dalam Pengertian “Perhatian
Terhadap Hak-Hak Individu dan Memberikan Hak-Hak Itu kepada Setiap Pemiliknya”
Adil dalam
pengertian inilah yang didefinisikan dengan “menempatkan sesuatu pada
tempatnya” (wadh al-syai’ fi mahallihi) atau “memberi pihak lain haknya
melalui jalan yang terdekat”. Lawannya adalah “kezaliman” yaitu menempatkan
sesuatu tidak pada tempatnya (wadh’ al-syai’ fi ghairi mahallihi).
Dengan demikian memasang peci di kepala adalah keadilan dan meletakkannya di
kaki adalah kezaliman. Pengertian keadilan seperti ini, melahirkan keadilan
sosial dimana setiap muslim terutama pemimpinnya wajib menegakkannya.
Setiap
manusia tentu mempunyai hak untuk memiliki atau melakukan sesuatu, karenanya
hak-hak itu harus diperhatikan dan dipenuhi dengan sebaik-baiknya. Hak-hak
setiap manusia itu misalnya hak untuk hidup, memiliki sesuatu, belajar,
bekerja, berobat, kelayakan hidup dan jaminan keamanan. Kesemua itu harus
diberikan kesempatannya yang sama kepada setiap orang.
Karena itu,
di dalam Islam seseorang tidak dibenarkan melakukan pembunuhan tanpa alasan
yang benar karena yang demikian itu berarti ia telah merampas hak hidup orang
lain. Allah SWT berfirman:
وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي
حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَمَنْ قُتِلَ مَظْلُومًا فَقَدْ جَعَلْنَا
لِوَلِيِّهِ سُلْطَانًا فَلَا يُسْرِفْ فِي الْقَتْلِ إِنَّهُ كَانَ مَنْصُورًا
[الإسراء : 33
“Dan
janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan
dengan suatu (alasan) yang benar dan barangsiapa dibunuh secara zalim, Maka
Sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi
janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah
orang yang mendapat pertolongan.” (Qs. Al-Isra/17: 33)
Islam juga
melarang seseorang makan harta orang lain dengan cara mencuri, menipu dan
semacamnya, karena yang demikian itu berarti ia mengambil hak-hak orang lain.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا
أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ
تَرَاضٍ مِنْكُمْ [النساء : 29]
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka
sama-suka di antara kamu.” (Qs. An-Nisa’/4: 29)
Seringkali
perampasan hak orang lain dilakukan melalui pengurangan dalam timbangan dan
takaran. Dalam hal ini Allah mengecam dengan sangat keras dalam firman-Nya:
وَيْلٌ لِلْمُطَفِّفِينَ (1)
الَّذِينَ إِذَا اكْتَالُوا عَلَى النَّاسِ يَسْتَوْفُونَ (2) وَإِذَا كَالُوهُمْ
أَوْ وَزَنُوهُمْ يُخْسِرُونَ (3) أَلَا يَظُنُّ أُولَئِكَ أَنَّهُمْ مَبْعُوثُونَ
(4) لِيَوْمٍ عَظِيمٍ (5) يَوْمَ يَقُومُ النَّاسُ لِرَبِّ الْعَالَمِينَ
[المطففين : 1 – 6]
”Kecelakaan
besarlah bagi orang-orang yang curang[ (yaitu) orang-orang yang apabila
menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka
menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. Tidaklah
orang-orang itu menyangka, bahwa Sesungguhnya mereka akan dibangkitkan, pada
suatu hari yang besar, (yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan
semesta alam?” (Qs.
al-Muthaffifin/83: 1-6)
Dalam
kehidupan keluarga pun seseorang diperintahkan berlaku adil dengan cara
memberikan hak anggota keluarganya secara proporsional. Seorang laki-laki yang
memiliki istri lebih dari satu orang harus bisa berlaku adil kepada mereka.
Allah berfirman:
فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ
النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا
فَوَاحِدَةً [النساء : 3
“Maka
nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga atau empat Kemudian
jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja …” (Qs. an-Nisa’: 3)
Orang tua
juga dituntut berlaku adil kepada anak-anaknya. Rasulullah SAW bersabda:
فَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْدِلُوا
بَيْنَ أَوْلاَدِكُمْ (صحيح البخاري
“Bertaqwalah
kamu kepada Allah dan bersikap adillah terhadap anak-anakmu.” (HR. Bukhari)
Dalam
pengertian ini pula Islam memerintahkan seseorang agar bersikap adil dalam
memberikan kesaksian. Seseorang tidak boleh memberi kesaksian kecuali dengan
sesuatu yang ia ketahui, tidak boleh menambah dan tidak boleh mengurangi, tidak
boleh merubah dan tidak boleh mengganti, Allah SWT berfirman:
وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِنْكُمْ
[الطلاق : 2
“Dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah
kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah …” (Qs. ath-Thalaq: 2)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ [المائدة : 8
“Hai
orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu
menegakkan (kebenaran) karena Allah. menjadi saksi dengan adil.” (Qs.
Al-Maidah: 8)
Penutup
Untuk bisa
disebut berlaku adil diperlukan adanya mizan (standar) yang
dipergunakan untuk menilai dan mengukur keadilan atau kezaliman seseorang. Mizan
keadilan dalam Islam adalah al-Qur’an. Firman Allah :
اللَّهُ الَّذِي أَنْزَلَ الْكِتَابَ
بِالْحَقِّ وَالْمِيزَانَ وَمَا يُدْرِيكَ لَعَلَّ السَّاعَةَ قَرِيبٌ [الشورى :
17]
“Allah-lah
yang menurunkan kitab dengan membawa kebenaran dan menurunkan neraca
(keadilan)”(Qs.as-Syura/42:
17)
Firman Allah
(yang artinya):
لَقَدۡ أَرۡسَلۡنَا رُسُلَنَا
بِٱلۡبَيِّنَـٰتِ وَأَنزَلۡنَا مَعَهُمُ ٱلۡكِتَـٰبَ وَٱلۡمِيزَانَ لِيَقُومَ
ٱلنَّاسُ بِٱلۡقِسۡطِۖ وَأَنزَلۡنَا ٱلۡحَدِيدَ فِيهِ بَأۡسٌ۬ شَدِيدٌ۬
وَمَنَـٰفِعُ لِلنَّاسِ وَلِيَعۡلَمَ ٱللَّهُ مَن يَنصُرُهُ ۥ
وَرُسُلَهُ ۥ بِٱلۡغَيۡبِۚ إِنَّ ٱللَّهَ قَوِىٌّ عَزِيزٌ۬ (٢٥
“
Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul dengan membawa bukti-bukti yang
nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan neraca (keadilan)
supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. Dan Kami ciptakan besi yang padanya
terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia” (Qs. al-Hadid/57: 25)
Rasyid
Ridla, dalam Tafsir al-Manar menjelaskan ayat ini dengan mengatakan:
“Sebaik-baik
orang adalah orang yang bisa berhenti dari kezaliman dan permusuhan dengan
hidayah al-Qur’an, kemudian orang yang berhenti dari kezaliman karena kekuasaan
(penguasa) dan yang paling buruk adalah orang yang tidak bisa diterapi kecuali
dengan kekerasan. Inilah yang dimaksudkan dengan al-Hadid (besi)”.
Kedamaian
dunia hanya bisa ditegakkan dengan al-Qur’an yang telah mewajibkan umat manusia
akan keadilan dan mengharamkan kezaliman dan kesewenang-wenangan. Maka dengan
al-Qur’an manusia akan menjauhi tindakan-tindakan kezaliman karena rasa
takutnya kepada murka Allah di dunia dan akhirat, disamping untuk mengharapkan
balasan/ganjaran dunia akhirat. Wallahu a’lamu bish-shawab. ●
Narasumber utama artikel ini:
Zaini Munir Fadlali
http://tuntunanislam.com/adil-yang-patut-dan-standar/
Author: Mohammad
Mohammad is the founder of STC Network which offers Web Services and Online Business Solutions to clients around the globe. Read More →
Related Posts:
SEJARAH
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar: