Jumat, 11 Desember 2015
Berbakti kepada Kedua Orang Tua
Berbakti kepada Kedua Orang
Tua
Mungkin
sebagian dari kita bingung mengisi waktu liburan kali ini. Ada yang mengisinya
dengan menonton televisi, tamasya, belanja, jalan-jalan, dan lain-lain. Ada
yang mengisi liburannya dengan setumpuk kegiatan organisasi di kampus, ada pula
yang mengisinya dengan menghadiri banyak pengajian. Sebagian mengisi liburan
dengan kegiatan yang bermanfaat, sedangkan sebagian yang lain mengisinya dengan
kegiatan yang sia-sia. Terlepas dari semua itu, tidakkah kita ingat bahwa terdapat
suatu kegiatan yang sangat mulia dan utama? Kegiatan mulia yang bernama “berbakti
kepada kedua orang tua”.
Kita pasti
sudah tidak asing dengan kata “berbakti kepada kedua orang tua” yang
sering kita jumpai di pengajian-pengajian dan buku-buku keislaman. Kali ini,
kami ingin mengingatkan kembali tentang tema berbakti kepada kedua orang tua
serta kisah para ulama dalam menaati kedua orang tua.
Kedudukan
Berbakti kepada Kedua Orang Tua dalam Islam
Islam
menjadikan berbakti kepada kedua orang tua sebagai sebuah kewajiban yang sangat
besar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ketika ditanya
tentang amal-amal saleh yang paling tinggi dan mulia,
“Shalat
tepat pada waktunya … berbuat baik kepada kedua orang tua … jihad di
jalan Allah.” (HR. Bukhari
dan Muslim)
Lihatlah …
betapa kedudukan orang tua sangat agung dalam Islam, sampai-sampai Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam menempatkannya sebagai salah satu amalan yang paling
utama. Lalu, sudahkah kita berbakti kepada kedua orang tua?
Seorang laki-laki
bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah,
siapakah orang yang paling berhak mendapatkan perlakuan baik dariku?”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ibumu.” Laki-laki itu
bertanya kembali, “Kemudian siapa?” Beliau menjawab, “Ibumu.”
Orang itu bertanya lagi, “Kemudian siapa?” Lagi-lagi beliau menjawab, “Ibumu.”
Orang itu pun bertanya lagi, “Kemudian siapa?” Maka beliau menjawab, “Ayahmu.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Perkataan Salafush
Shalih (Generasi Pendahulu yang Saleh) tentang Berbakti kepada Kedua Orang
Tua
Suatu ketika
Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma bertanya kepada seseorang, “Apakah
engkau takut masuk neraka dan ingin masuk ke dalam surga?” Orang itu
menjawab, “Ya.” Ibnu Umar berkata, “Berbaktilah kepada ibumu. Demi
Allah, jika engkau melembutkan kata-kata untuknya, memberinya makan, niscaya
engkau akan masuk surga selama engkau menjauhi dosa-dosa besar.” (HR.
Bukhari)
Subhanallah … Dewasa ini sering kita saksikan
banyak orang yang melakukan ritual-ritual ibadah yang menyimpang karena
kebodohan mereka dengan tujuan agar terhindar dari api neraka dan mendekatkan
diri ke surga. Padahal kalau mereka tahu, sebenarnya alangkah dekatnya mereka
dengan surga. Ya … surga yang selalu menjadi penggerak jiwa para salafush
shalih untuk bisa meraihnya, yang dipenuhi dengan kenikmatan, beraroma
kasturi, yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, yang membuat segenap jiwa
merindukannya, yang menjadi harapan utama bagi setiap mukmin. Semua itu bisa
mereka raih dengan berbakti kepada kedua orang tua selama mereka menjauhi dosa
besar.
Kisah
Seorang Wanita yang Berbakti kepada Ibunya
Yahya bin
Katsir menceritakan, “Suatu ketika Abu Musa Al-Asy’ari dan Abu Amir radhiyallahu
‘anhuma datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
untuk berbaiat kepada beliau dan masuk Islam. Ketika itu, beliau bertanya, ‘Apa
yang kamu lakukan terhadap istrimu yang kamu tuduh ini dan itu?’ Keduanya
menjawab, ‘Kami tinggalkan dia bersama keluarganya.’ Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Sesungguhnya mereka telah diampuni.’
‘Mengapa
wahai Rasulullah?’ tanya mereka. Beliau menjawab, ‘Karena dia telah berbuat
baik kepada ibunya.’ Kemudian beliau melanjutkan, ‘Dia memiliki ibu yang sangat
tua. Suatu ketika ada orang yang berseru, ‘Hai, ada musuh yang hendak
memporak-porandakan kalian!’ Lalu ia menggendong ibunya yang telah tua itu.
Bila kelelahan, ia turunkan ibunya kemudian ia gendong ibunya di depan. Ia
taruh telapak kaki ibunya di atas telapak kakinya agar ibunya tidak terkena panas.
Begitu seterusnya hingga akhirnya mereka selamat dari sergapan musuh.’”
Saudariku …
renungkanlah, bila kita simak kisah di atas lebih mendalam, kita akan
mengetahui bahwa berbakti kepada orang tua—terutama ibu—menjadi sebab
kebahagiaan seseorang di dunia dan di akhirat. Maka selayaknya kita berusaha
agar bisa meraih kebahagiaan itu selagi orang tua kita masih hidup. Kemudian
bandingkanlah keadaan di zaman kita dengan kisah di atas. Alangkah jauh
perbedaannya! Apakah yang memberatkan kita untuk berbakti kepadanya sebagaimana
yang telah dilakukan oleh salafush shalih? Apa yang menghalangi kita
untuk berbakti kepadanya jika hal tersebut akan membuat kita bahagia dan
menjadi orang yang kaya pahala dan tenteram hatinya?
Sungguh
merugi jika kita mengetahui dekatnya surga denganberbakti kepada kedua orang
tua, tetapi kita malah melalaikannya.
Rasulullah shallallahu
‘alaih wa sallam bersabda,
“Orang tua
adalah pintu surga yang paling tengah. Jika engkau ingin maka sia-siakanlah
pintu itu atau jagalah ia.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Dalam hadits
lain beliau juga bersabda, “Celaka, celaka, celaka!” Ada yang bertanya,”Siapa
wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Orang yang mendapati salah satu
atau kedua orang tuanya telah berusia lanjut, tetapi tidak membuatnya masuk ke
dalam surga.” (HR. Muslim)
Melalui Doa
Ibu
Berikut ini
terdapat kutipan kisah penuh hikmah tentang pentingnya berbakti kepada orang
tua. Salim bin Ayyub bercerita, “Aku pernah mengadakan perjalanan ke kota Ray,
ketika itu usiaku dua puluh tahun. Di sana aku menghadiri suatu majelis dengan
seorang syaikhyang sedang mengajar. Syaikh itu berkata kepadaku, ‘Maju dan
bacalah.’ Aku berusaha membacanya tetapi aku tidak bisa. Lidahku kelu.
Ia bertanya,
‘Apakah kamu punya ibu?’
Aku
menjawab, ‘Ya.’
Syaikh
berkata, ‘Kalau begitu, mintalah ia supaya mendoakanmu agar Allah
menganugerahkanmu Al-Qur`anul-Karim dan ilmu.’
Lantas aku
pulang menemui ibuku dan memintanya berdoa. Maka ia berdoa untukku. Setelah
tumbuh dewasa, suatu ketika aku pergi ke Bagdad. Di sana aku belajar bahasa
Arab dan fikih, kemudian aku kembali ke kota Ray.
Ketika aku
sedang berada di Masjid Al-Jami’ mempelajari kitab Mukhtashar Al-Muzani,
tiba-tiba Asy-syaikh datang dan mengucapkan salam kepada kami sedangkan
ia tidak mengenaliku. Ia mendengarkan perkataan kami, tetapi tidak tahu apa
yang kami ucapkan, kemudian ia bertanya, ‘Kapan ia belajar seperti ini?’ Maka
aku ingin mengatakan seperti yang ia ucapkan dahulu, ‘Jika engkau punya ibu,
katakan kepadanya agar ia berdoa untukmu.’ Akan tetapi aku malu kepadanya.”
Lihatlah
Saudariku, betapa mustajabnya doa seorang ibu. Lalu mengapa terkadang kita
khawatir doa kita tidak terkabul? Mengapa terkadang kita merasa kesulitan
memahami suatu ilmu padahal ada seorang ibu di samping kita?
Bakti
Seorang Anak ketika Orang Tua telah Tiada
Terkadang
sebagian kita beranggapan bahwa kewajiban berbakti kepada kedua orang tua telah
usai ketika orang tua telah wafat. Jika memang demikian, alangkah bakhilnya
diri kita. Alangkah singkatnya bakti kita kepada orang tua yang telah mengasuh
kita dengan penuh kasih sayang, yang telah mengorbankan siang dan malamnya
untuk kebahagiaan sang anak. Seseorang yang telah mengucurkan banyak air mata
dan keringat untuk kebaikan sang anak. Lantas, apakah balas budi kepada mereka
akan berakhir seiring berakhirnya kehidupan mereka??
Saudariku …
ketahuilah, bahwa saat setelah wafat adalah saat di mana kedua orang tua paling
membutuhkan bakti anak-anaknya, yaitu ketika mereka telah memasuki alam barzah.
Mereka sangat membutuhkan doa yang baik dan permohonan ampun melalui seorang
anak untuk mengangkat kedua telapak tangannya kepada Allah Ta’ala.
Seseorang
datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bertanya, “Wahai
Rasulullah, apakah masih tersisa sesuatu sebagai baktiku kepada kedua orang
tuaku setelah keduanya wafat?” Beliau bersabda, “Ya, engkau mendoakan
keduanya, memohonkan ampunan untuk keduanya, menunaikan janji keduanya,
memuliakan teman keduanya, dan silaturahmi yang tidak tersambung kecuali dengan
keduanya.” (HR. Al-Hakim)
Begitulah,
bakti seorang anak kepada kedua orang tua senantiasa menjadi utang manusia
selama ruh masih berada pada jasadnya, selama jantung masih berdetak, selama
nadi masih berdenyut, dan selama napas masih berembus. Oleh karena itu, sangat
keliru jika ada orang yang beranggapan bahwa baktinya telah usai ketika orang
tua telah wafat. Bakti seorang anak kepada orang tua senantiasa menjadi hutang
yang harus ditunaikan sampai ia bertemu dengan Allah Ta’ala. Mereka
sangat membutuhkan doa yang tulus serta permohonan ampun sehingga mereka
mendapatkan limpahan rahmat dan ampunan dari Allah karenanya.
“Sesungguhnya
Allah mengangkat derajat seorang hamba yang saleh di surga. Lantas ia bertanya,
‘Wahai Rabb, mengapa aku mendapatkan ini?’ Allah menjawab, ‘Karena permohonan
ampunan anakmu untukmu.’” (HR. Ahmad)
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Apabila seorang anak Adam meninggal
dunia maka amalnya terputus, kecuali tiga perkara: … ,anak saleh yang
mendoakannya.” (HR. Muslim)
Faedah
Berbakti kepada Kedua Orang Tua
Berbakti
kepada kedua orang tua membuahkan banyak keutamaan. Berikut ini beberapa faedah
berbakti kepada kedua orang tua:
- Dikabulkannya doa (sebagaimana kisah yang telah disebutkan).
- Sebab dihapuskannya dosa besar.
Seorang laki-laki mendatangi Nabi shallallahu ‘alaih wa sallam lalu berkata, “Wahai Rasulullah, aku telah melakukan dosa besar. Apakah ada taubat untukku?” Nabi bertanya, “Apakah engkau memiliki seorang ibu?” Laki-laki itu menjawab, “Tidak.” Nabi bertanya lagi, “Apakah engkau memiliki seorang bibi?” Ia menjawab, “Ya. “ Nabi bersabda, “Berbaktilah kepadanya.” (HR. Ibnu Hibban) - Berbakti kepada kedua orang tua
merupakan penyebab keberkahan dan bertambahnya rezeki.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang ingin dipanjangkan umurnya dan ditambahkan rezekinya, hendaklah ia berbakti kepada kedua orang tuanya dan hendaklah ia menyambung silaturahmi.” (HR. Ahmad) - Barangsiapa yang berbakti
kepada bapak ibunya maka anak-anaknya akan berbakti kepadanya, dan
barangsiapa yang durhaka kepada keduanya maka anak-anaknya pun akan
durhaka pula kepadanya.
Tsabit Al-Banany mengatakan, “Aku melihat seseorang memukul bapaknya di suatu tempat. Maka dikatakan kepadanya, ‘Apa-apaan ini?’ Sang ayah berkata, ‘Biarkanlah dia. Sesungguhnya dulu aku memukul ayahku pada bagian ini maka aku diuji Allah dengan anakku sendiri, ia memukulku pada bagian ini. Berbaktilah kalian kepada orang tua kalian, niscaya anak-anak kalian akan berbakt kepada kalian.’” - Ridha Allah terletak pada ridha kedua orang tua, murka Allah pada murka orang tua.
- Diterimanya amal.
Sesorang yang berbakti kepada kedua orang tua maka amalnya akan diterima. Diterimanya amal akan mendatangkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma mengatakan, “Kalau aku tahu bahwasanya aku punya shalat yang diterima, pasti aku bersandar kepada hal itu. Barangsiapa yang berbakti kepada kedua orang tuanya, sesungguhnya Allah menerima amalnya.”
Saudariku,
renungkanlah keutamaan-keutamaan di atas. Sesungguhnya berbakti kepada orang
tua merupakan salah satu sebab dihapuskannya dosa besar, diterimanya amal,
serta sebab kebahagiaan di dunia dan akhirat. Setelah kita melihat keutamaan
berbakti kepada kedua orang tua, pahala yang dijanjikan, serta kisah-kisah
generasi pendahulu yang saleh, masih adakah penghalang bagi kita untuk menaati
kedua orang tua?
Renungan …
Saudariku,
mari renungkan kisah ini agar kita tahu betapa luas dan dalamnya kasih sayang
orang tua—terutama ibu—kepada anaknya.
Dikisahkan,
pada masa kekuasaan Al-Abbasiyyah ada seorang laki-laki mendatangi rumah
seorang wanita, lalu ia mengetuk pintu dan memintanya melunasi utang. Perempuan
itu menampakkan ketidakmampuannya untuk melunasi utang sehingga orang itu marah
dan memukulnya lantas pergi. Kemudian dia datang sekali lagi menemui wanita
tersebut. Akan tetapi, kali ini yang membukakan pintu adalah anak laki-laki
dari wanita itu. Tamu itu menanyakan di mana ibunya. Anak tersebut menjawab,
“Ibuku pergi ke pasar.” Laki-laki itu menyangka bahwa anak tersebut berdusta
sehingga ia memukul anak itu dengan pukulan yang tidak begitu keras.
Tiba-tiba
ibunya muncul dan melihat laki-laki itu memukul putranya maka ia menangis
sejadi-jadinya. Laki-laki itu bertanya kepadanya, “Aku tidak memukulnya dengan
keras, mengapa engkau menangis? Padahal kemarin aku memukulmu lebih keras,
tetapi engkau tidak menangis.”
Sang ibu
menjawab, “Kemarin engkau memukul kulitku, dan sekarang engkau memukul
hatiku ….”
Laki-laki
tersebut terharu dan memaafkannya, serta bersumpah untuk tidak menuntut
utangnya lagi semenjak itu.
Author: Mohammad
Mohammad is the founder of STC Network which offers Web Services and Online Business Solutions to clients around the globe. Read More →
Related Posts:
BERITA
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar: