Minggu, 03 Januari 2016
Dosa Meninggalkan Shalat Lima Waktu Lebih Besar dari Dosa Berzina
Dosa Meninggalkan Shalat Lima Waktu Lebih Besar dari
Dosa Berzina
Para pembaca
yang semoga selalu dirahmati oleh Allah Ta’ala. Kita semua pasti tahu bahwa
shalat adalah perkara yang amat penting. Bahkan shalat termasuk salah satu
rukun Islam yang utama yang bisa membuat bangunan Islam tegak. Namun, realita
yang ada di tengah umat ini sungguh sangat berbeda. Kalau kita melirik
sekeliling kita, ada saja orang yang dalam KTP-nya mengaku Islam, namun biasa
meninggalkan rukun Islam yang satu ini. Mungkin di antara mereka, ada yang
hanya melaksanakan shalat sekali sehari, itu pun kalau ingat. Mungkin ada pula
yang hanya melaksanakan shalat sekali dalam seminggu yaitu shalat Jum’at. Yang
lebih parah lagi, tidak sedikit yang hanya ingat dan melaksanakan shalat dalam
setahun dua kali yaitu ketika Idul Fithri dan Idul Adha saja.
Memang
sungguh prihatin dengan kondisi umat saat ini. Banyak yang mengaku Islam di
KTP, namun kelakuannya semacam ini. Oleh karena itu, pada tulisan yang singkat
ini kami akan mengangkat pembahasan mengenai hukum meninggalkan shalat. Semoga
Allah memudahkannya dan memberi taufik kepada setiap orang yang membaca tulisan
ini.
Para Ulama
Sepakat Bahwa Meninggalkan Shalat Termasuk Dosa Besar yang Lebih Besar dari
Dosa Besar Lainnya
Ibnu Qayyim
Al Jauziyah –rahimahullah- mengatakan, ”Kaum muslimin bersepakat bahwa
meninggalkan shalat lima waktu dengan sengaja adalah dosa besar
yang paling besar dan dosanya lebih besar dari dosa membunuh, merampas
harta orang lain, berzina, mencuri, dan minum minuman keras. Orang yang
meninggalkannya akan mendapat hukuman dan kemurkaan Allah serta mendapatkan
kehinaan di dunia dan akhirat.” (Ash Sholah, hal. 7)
Dinukil oleh
Adz Dzahabi dalam Al Kaba’ir, Ibnu Hazm –rahimahullah- berkata,
“Tidak ada dosa setelah kejelekan yang paling besar daripada dosa
meninggalkan shalat hingga keluar waktunya dan membunuh seorang mukmin tanpa
alasan yang bisa dibenarkan.” (Al Kaba’ir, hal. 25)
Adz Dzahabi
–rahimahullah- juga mengatakan, “Orang yang mengakhirkan shalat hingga keluar
waktunya termasuk pelaku dosa besar. Dan yang meninggalkan shalat secara
keseluruhan -yaitu satu shalat saja- dianggap seperti orang yang berzina
dan mencuri. Karena meninggalkan shalat atau luput darinya termasuk dosa besar.
Oleh karena itu, orang yang meninggalkannya sampai berkali-kali termasuk pelaku
dosa besar sampai dia bertaubat. Sesungguhnya orang yang meninggalkan shalat
termasuk orang yang merugi, celaka dan termasuk orang mujrim (yang
berbuat dosa).” (Al Kaba’ir, hal. 26-27)
Apakah Orang
yang Meninggalkan Shalat Bisa Kafir alias Bukan Muslim?
Dalam point
sebelumnya telah dijelaskan, para ulama bersepakat bahwa meninggalkan shalat
termasuk dosa besar bahkan lebih besar dari dosa berzina dan mencuri. Mereka
tidak berselisih pendapat dalam masalah ini. Namun, yang menjadi masalah
selanjutnya, apakah orang yang meninggalkan shalat masih muslim ataukah telah
kafir?
Asy Syaukani
-rahimahullah- mengatakan bahwa tidak ada beda pendapat di antara kaum muslimin
tentang kafirnya orang yang meninggalkan shalat karena mengingkari
kewajibannya. Namun apabila meninggalkan shalat karena malas dan tetap
meyakini shalat lima waktu itu wajib -sebagaimana kondisi sebagian besar kaum
muslimin saat ini-, maka dalam hal ini ada perbedaan pendapat (Lihat Nailul
Author, 1/369).
Mengenai meninggalkan
shalat karena malas-malasan dan tetap meyakini shalat itu wajib, ada tiga
pendapat di antara para ulama mengenai hal ini.
Pendapat
pertama mengatakan
bahwa orang yang meninggalkan shalat harus dibunuh karena dianggap telah murtad
(keluar dari Islam). Pendapat ini adalah pendapat Imam Ahmad, Sa’id bin Jubair,
‘Amir Asy Sya’bi, Ibrohim An Nakho’i, Abu ‘Amr, Al Auza’i, Ayyub As Sakhtiyani,
‘Abdullah bin Al Mubarrok, Ishaq bin Rohuwyah, ‘Abdul Malik bin Habib (ulama
Malikiyyah), pendapat sebagian ulama Syafi’iyah, pendapat Imam Syafi’i
(sebagaimana dikatakan oleh Ath Thohawiy), pendapat Umar bin Al Khothob
(sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Hazm), Mu’adz bin Jabal, ‘Abdurrahman bin
‘Auf, Abu Hurairah, dan sahabat lainnya.
Pendapat
kedua mengatakan
bahwa orang yang meninggalkan shalat dibunuh dengan hukuman had, namun tidak
dihukumi kafir. Inilah pendapat Malik, Syafi’i, dan salah salah satu pendapat
Imam Ahmad.
Pendapat
ketiga mengatakan
bahwa orang yang meninggalkan shalat karena malas-malasan adalah fasiq (telah
berbuat dosa besar) dan dia harus dipenjara sampai dia mau menunaikan shalat.
Inilah pendapat Hanafiyyah. (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah,
22/186-187)
Jadi,
intinya ada perbedaan pendapat dalam masalah ini di antara para ulama termasuk pula
ulama madzhab. Bagaimana hukum meninggalkan shalat menurut Al Qur’an dan
As Sunnah? Silakan simak pembahasan selanjutnya.
Pembicaraan
Orang yang Meninggalkan Shalat dalam Al Qur’an
Banyak ayat
yang membicarakan hal ini dalam Al Qur’an, namun yang kami bawakan adalah dua
ayat saja.
Allah Ta’ala
berfirman,
فَخَلَفَ
مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ
يَلْقَوْنَ غَيًّا إِلَّا مَنْ تَابَ وَآَمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا
“Maka
datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan
shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan
menemui al ghoyya, kecuali orang yang bertaubat, beriman dan beramal
saleh.” (QS. Maryam : 59-60)
Ibnu
Mas’ud radhiyallahu ‘anhuma mengatakan bahwa ‘ghoyya’ dalam
ayat tersebut adalah sungai di Jahannam yang makanannya sangat menjijikkan,
yang tempatnya sangat dalam. (Ash Sholah, hal. 31)
Dalam ayat
ini, Allah menjadikan tempat ini –yaitu sungai di Jahannam- sebagai tempat bagi
orang yang menyiakan shalat dan mengikuti syahwat (hawa nafsu). Seandainya
orang yang meninggalkan shalat adalah orang yang hanya bermaksiat biasa, tentu
dia akan berada di neraka paling atas, sebagaimana tempat orang muslim yang
berdosa. Tempat ini (ghoyya) yang merupakan bagian neraka paling bawah,
bukanlah tempat orang muslim, namun tempat orang-orang kafir.
Pada ayat
selanjutnya juga, Allah telah mengatakan,
إِلَّا مَنْ
تَابَ وَآَمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا
”kecuali orang
yang bertaubat, beriman dan beramal saleh”. Maka seandainya orang yang
menyiakan shalat adalah mu’min, tentu dia tidak dimintai taubat untuk beriman.
Dalam ayat
yang lain, Allah Ta’ala berfirman,
فَإِنْ
تَابُوا وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآَتَوُا الزَّكَاةَ فَإِخْوَانُكُمْ فِي
الدِّينِ
“Jika
mereka bertaubat, mendirikan sholat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu)
adalah saudara-saudaramu seagama.” (QS. At Taubah [9] : 11). Dalam ayat
ini, Allah Ta’ala mengaitkan persaudaraan seiman dengan
mengerjakan shalat. Berarti jika shalat tidak dikerjakan, bukanlah saudara
seiman. Konsekuensinya orang yang meninggalkan shalat bukanlah mukmin karena
orang mukmin itu bersaudara sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّمَا
الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ
“Orang-orang
beriman itu sesungguhnya bersaudara.” (QS. Al Hujurat [49] : 10)
Pembicaraan
Orang yang Meninggalkan Shalat dalam Hadits
Terdapat
beberapa hadits yang membicarakan masalah ini.
Dari Jabir
bin ‘Abdillah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
بَيْنَ
الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاَةِ
“(Pembatas) antara
seorang muslim dan kesyirikan serta kekafiran adalah meninggalkan shalat.”
(HR. Muslim no. 257).
Dari
Tsauban radhiyallahu ‘anhu -bekas budak Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam-, beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda,
بَيْنَ
العَبْدِ وَبَيْنَ الكُفْرِ وَالإِيْمَانِ الصَّلَاةُ فَإِذَا تَرَكَهَا فَقَدْ
أَشْرَكَ
“Pemisah Antara
seorang hamba dengan kekufuran dan keimanan adalah shalat. Apabila dia
meninggalkannya, maka dia melakukan kesyirikan.” (HR. Ath Thobariy dengan
sanad shohih. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini shohih.
Lihat Shohih At Targib wa At Tarhib no. 566).
Diriwayatkan
dari Mu’adz bin Jabal, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
رَأْسُ
الأَمْرِ الإِسْلاَمُ وَعَمُودُهُ الصَّلاَةُ
”Inti
(pokok) segala perkara adalah Islam dan tiangnya (penopangnya) adalah shalat.”
(HR. Tirmidzi no. 2825. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih
wa Dho’if Sunan At Tirmidzi). Dalam hadits ini, dikatakan bahwa shalat
dalam agama Islam ini adalah seperti penopang (tiang) yang menegakkan kemah.
Kemah tersebut bisa roboh (ambruk) dengan patahnya tiangnya. Begitu juga dengan
islam, bisa ambruk dengan hilangnya shalat.
Para Sahabat
Berijma’ (Bersepakat), Meninggalkan Shalat adalah Kafir
Umar mengatakan,
لاَ
إِسْلاَمَ لِمَنْ تَرَكَ الصَّلاَةَ
”Tidaklah
disebut muslim bagi orang yang meninggalkan shalat.”
Dari jalan
yang lain, Umar berkata,
ولاَحَظَّ
فِي الاِسْلاَمِ لِمَنْ تَرَكَ الصَّلاَةَ
“Tidak
ada bagian dalam Islam bagi orang yang meninggalkan shalat.” (Dikeluarkan
oleh Malik. Begitu juga diriwayatkan oleh Sa’ad di Ath Thobaqot, Ibnu Abi
Syaibah dalam Al Iman. Diriwayatkan pula oleh Ad Daruquthniy dalam sunannya,
juga Ibnu ’Asakir. Hadits ini shohih, sebagaimana dikatakan oleh
Syaikh Al Albani dalam Irwa’ul Gholil no. 209). Saat Umar
mengatakan perkataan di atas tatkala menjelang sakratul maut, tidak ada satu
orang sahabat pun yang mengingkarinya. Oleh karena itu, hukum bahwa
meninggalkan shalat adalah kafir termasuk ijma’ (kesepakatan) sahabat sebagaimana
yang dikatakan oleh Ibnul Qoyyim dalam kitab Ash Sholah.
Mayoritas
sahabat Nabi menganggap bahwa orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja
adalah kafir sebagaimana dikatakan oleh seorang tabi’in, Abdullah bin Syaqiq.
Beliau mengatakan,
كَانَ
أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ -صلى الله عليه وسلم- لاَ يَرَوْنَ شَيْئًا مِنَ الأَعْمَالِ
تَرْكُهُ كُفْرٌ غَيْرَ الصَّلاَةِ
“Dulu
para shahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah pernah menganggap
suatu amal yang apabila ditinggalkan menyebabkan kafir kecuali shalat.”
Perkataan ini diriwayatkan oleh At Tirmidzi dari Abdullah bin Syaqiq Al ‘Aqliy
seorang tabi’in dan Hakim mengatakan bahwa hadits ini bersambung dengan
menyebut Abu Hurairah di dalamnya. Dan sanad (periwayat) hadits ini
adalah shohih. (Lihat Ats Tsamar Al Mustathob fi Fiqhis
Sunnah wal Kitab, hal. 52)
Dari
pembahasan terakhir ini terlihat bahwasanya Al Qur’an, hadits dan perkataan
sahabat bahkan ini adalah ijma’’ (kesepakatan) mereka menyatakan
bahwa orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja adalah kafir (keluar
dari Islam). Itulah pendapat yang terkuat dari pendapat para ulama yang ada.
Ibnul Qayyim
mengatakan, ”Tidakkah seseorang itu malu dengan mengingkari pendapat
bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah kafir, padahal hal ini telah
dipersaksikan oleh Al Kitab (Al Qur’an), As Sunnah dan kesepakatan sahabat.
Wallahul Muwaffiq (Hanya Allah-lah yang dapat memberi taufik).” (Ash
Sholah, hal. 56)
Berbagai
Kasus Orang Yang Meninggalkan Shalat
[Kasus
Pertama] Kasus ini
adalah meninggalkan shalat dengan mengingkari kewajibannya sebagaimana mungkin
perkataan sebagian orang, ‘Sholat oleh, ora sholat oleh.’ [Kalau mau
shalat boleh-boleh saja, tidak shalat juga tidak apa-apa]. Jika hal ini
dilakukan dalam rangka mengingkari hukum wajibnya shalat, orang semacam ini
dihukumi kafir tanpa ada perselisihan di antara para ulama.
[Kasus
Kedua] Kasus kali ini adalah meninggalkan shalat dengan menganggap gampang
dan tidak pernah melaksanakannya. Bahkan ketika diajak untuk
melaksanakannya, malah enggan. Maka orang semacam ini berlaku hadits-hadits
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan kafirnya
orang yang meninggalkan shalat. Inilah pendapat Imam Ahmad, Ishaq, mayoritas
ulama salaf dari shahabat dan tabi’in.
[Kasus
Ketiga] Kasus ini yang sering dilakukan kaum muslimin yaitu tidak rutin
dalam melaksanakan shalat yaitu kadang shalat dan kadang tidak. Maka dia masih
dihukumi muslim secara zhohir (yang nampak pada dirinya) dan
tidak kafir. Inilah pendapat Ishaq bin Rohuwyah yaitu hendaklah bersikap lemah
lembut terhadap orang semacam ini hingga dia kembali ke jalan yang benar. Wal
‘ibroh bilkhotimah [Hukuman baginya dilihat dari keadaan akhir
hidupnya].
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Jika seorang hamba melakukan sebagian
perintah dan meninggalkan sebagian, maka baginya keimanan sesuai dengan
perintah yang dilakukannya. Iman itu bertambah dan berkurang. Dan bisa jadi
pada seorang hamba ada iman dan nifak sekaligus. … Sesungguhnya sebagian besar
manusia bahkan mayoritasnya di banyak negeri, tidaklah selalu menjaga shalat
lima waktu. Dan mereka tidak meninggalkan secara total. Mereka terkadang shalat
dan terkadang meninggalkannya. Orang-orang semacam ini ada pada diri
mereka iman dan nifak sekaligus. Berlaku bagi mereka hukum Islam secara
zhohir seperti pada masalah warisan dan semacamnya. Hukum ini (warisan) bisa
berlaku bagi orang munafik tulen. Maka lebih pantas lagi berlaku bagi orang
yang kadang shalat dan kadang tidak.” (Majmu’ Al Fatawa,7/617)
[Kasus
Keempat] Kasus ini adalah bagi orang yang meninggalkan shalat dan tidak
mengetahui bahwa meninggalkan shalat membuat orang kafir. Maka hukum bagi orang
semacam ini adalah sebagaimana orang jahil (bodoh). Orang ini tidaklah
dikafirkan disebabkan adanya kejahilan pada dirinya yang dinilai sebagai faktor
penghalang untuk mendapatkan hukuman.
[Kasus
Kelima] Kasus ini adalah untuk orang yang mengerjakan shalat hingga keluar
waktunya. Dia selalu rutin dalam melaksanakannya, namun sering mengerjakan di
luar waktunya. Maka orang semacam ini tidaklah kafir, namun dia berdosa dan
perbuatan ini sangat tercela sebagaimana Allah berfirman,
وَيْلٌ
لِلْمُصَلِّينَ (4) الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ (5)
“Maka
kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai
dari shalatnya.” (QS. Al Maa’un [107] : 4-5) (Lihat Al Manhajus
Salafi ‘inda Syaikh Nashiruddin Al Albani, 189-190)
Penutup
Sudah
sepatutnya kita menjaga shalat lima waktu. Barangsiapa yang selalu menjaganya,
berarti telah menjaga agamanya. Barangsiapa yang sering menyia-nyiakannya, maka
untuk amalan lainnya akan lebih disia-siakan lagi.
Amirul
Mukminin, Umar bin Al Khoththob –radhiyallahu ‘anhu- mengatakan, “Sesungguhnya
di antara perkara terpenting bagi kalian adalah shalat. Barangsiapa menjaga
shalat, berarti dia telah menjaga agama. Barangsiapa yang menyia-nyiakannya,
maka untuk amalan lainnya akan lebih disia-siakan lagi. Tidak ada bagian dalam
Islam, bagi orang yang meninggalkan shalat.“
Imam Ahmad
–rahimahullah- juga mengatakan perkataan yang serupa, “Setiap orang yang
meremehkan perkara shalat, berarti telah meremehkan agama. Seseorang memiliki
bagian dalam Islam sebanding dengan penjagaannya terhadap shalat lima waktu.
Seseorang yang dikatakan semangat dalam Islam adalah orang yang betul-betul memperhatikan
shalat lima waktu. Kenalilah dirimu, wahai hamba Allah. Waspadalah! Janganlah
engkau menemui Allah, sedangkan engkau tidak memiliki bagian dalam Islam. Kadar
Islam dalam hatimu, sesuai dengan kadar shalat dalam hatimu.“ (Lihat Ash
Sholah, hal. 12)
Oleh karena
itu, seseorang bukanlah hanya meyakini (membenarkan) bahwa shalat lima waktu
itu wajib. Namun haruslah disertai dengan melaksanakannya (inqiyad). Karena
iman bukanlah hanya dengan tashdiq (membenarkan), namun harus pula disertai
dengan inqiyad (melaksanakannya dengan anggota badan).
Ibnul Qoyyim
mengatakan, “Iman adalah dengan membenarkan (tashdiq). Namun bukan hanya
sekedar membenarkan (meyakini) saja, tanpa melaksanakannya (inqiyad). Kalau
iman hanyalah membenarkan (tashdiq) saja, tentu iblis, Fir’aun dan kaumnya,
kaum sholeh, dan orang Yahudi yang membenarkan bahwa Muhammad adalah utusan
Allah (mereka meyakini hal ini sebagaimana mereka mengenal anak-anak
mereka), tentu mereka semua akan disebut orang yang beriman (mu’min-mushoddiq).“
Al Hasan
mengatakan, “Iman bukanlah hanya dengan angan-angan (tanpa ada amalan). Namun
iman adalah sesuatu yang menancap dalam hati dan dibenarkan dengan amal
perbuatan.“ (Lihat Ash Sholah, 35-36)
Semoga tulisan
yang singkat ini bermanfaat bagi kaum muslimin. Semoga kita dapat mengingatkan
kerabat, saudara dan sahabat kita mengenai bahaya meninggalkan shalat lima
waktu. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat, wa
shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam

Author: Mohammad
Mohammad is the founder of STC Network which offers Web Services and Online Business Solutions to clients around the globe. Read More →
Related Posts:
BERITA
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar: